"Sepuluh kali sehari, Anda pergi kepada orang miskin, sepuluh kali pula Anda akan menemukan Tuhan "(St. Vinsensius A Paulo)

22 November 2012

Pertemuan Umum Lampung 26-28 Oktober 2012




Pertemuan Umum Dewan Wilayah Lampung kali ini diadakan di Kotabumi (Lampung Utara) pada tgl. 26-28 Oktober 2012, mengambil lokasi di sekolah Slamet Riyadi. Pengurus Dewan Nasional juga hadir yang diwakili oleh Sdri. Linda & Winata.  Para peserta baik tua & muda sangat bersemangat mengikuti acara pertemuan ini, yang merupakan sarana untuk mencari dan berbagi pengalaman dalam pelayanan di SSV. Mereka semua berkumpul menjadi satu tidur & mandi pun bersama-sama di sekolah tsb.  

Di tengah cuaca yang sangat terik, para Vinsensian dari segala penjuru Lampung berdatangan dengan jumlah peserta hampir 230 orang. Waaooow... Baru kali ini kami melihat sebuah pertemuan dengan lingkup Dewan Wilayah namun peserta seperti sebuah Pertemuan setingkat Dewan Nasional.

Mengambil tema "Dengan Mengembangkan Jaringan Kasih & Persaudaraan Sejati, Semoga dapat meringankan beban penderitaan kaum miskin“, pertemuan dibuka dengan misa syukur oleh Rm. Agus Sayekti, Pr. Dalam kotbahnya, beliau mengingatkan bahwa generasi muda janganlah menjadi generasi yang loyo, namun dapat mengikuti yang namanya tanda-tanda jaman.
Sesi pada hari pertama diisi oleh Dewan Nasional dengan mengangkat spiritualitas tentang 4 pilar Serikat Sosial Vinsensius, yaitu : Iman, Karya, Persaudaraan, & Tertib Organisasi. Di mana dengan dasar 4 pilar inilah yang menjadi landasan pelayanan kita untuk para kaum miskin dapat merasakan persaudaraan & kasih yang berasal dari Yesus sendiri. Melalui sesi ini beberapa anggota Vinsensian diberi kesempatan untuk sharing, bagaimana mereka menjadi Vinsensian. Dimana dengan ikut SSV mereka bisa berjumpa dengan Yesus, diberikan berkat yg berlimpah, dan terutama semangat Persaudaraan yang belum pernah mereka jumpai di organisasi yang lain.

Read More..

03 Oktober 2012

Perayaan Tahun Emas SSV Indonesia

Serikat Sosial Vinsensius (SSV) Indonesia merayakan Misa syukur untuk mengawali serangkaian acara Perayaan Tahun Emas berkarya di Indonesia. Misa itu digelar di Gereja St. Yosef, Kediri, Jawa Timur, Minggu, 30 September 2012, yang dihadiri sekitar 200 umat dari anggota SSV di Jawa Timur, Keluarga Vinsensian Kediri, Dewan Paroki St. Vinsensius dan St. Yosef Kediri dan undangan utusan SMPK St. Maria, SMPK Mardi Wiyata dan SMAK Agustinus, Kediri.

Misa dipersembahkan oleh Romo Antonius Sad Budianto CM, Penasehat Rohani Dewan Nasional (Denas) SSV, Romo Adi Sapto Widodo CM, Penasehat Rohani Dewan Wilayah Malang, dan Romo Thomas Suparno CM, Koordinator Keluarga Vinsensian (KeVin) Kediri dan kepala Paroki St. Yosef.


Dewan Nasional SSV memilih kota Kediri sebagai tempat pembukaan Rangkaian Tahun Emas didasarkan fakta sejarah pembentukan konferensi SSV pertama kali di Indonesia berawal di Paroki St. Vinsensius Kediri pada 19 Juli 1963 atas prakarsa Romo Gerard Boonekamp CM.

Dari kota Kediri inilah Romo Gerard berusaha agar SSV dapat berkembang di seluruh Indonesia. Melalui korespondensinya dengan para pastor di seluruh Indonesia maka SSV hadir di berbagai daerah diantaranya Onekore, Ende (1964), Kisol, Ruteng (1964), Jember (1964), Bandung (1964), Surabaya (1964), Cicurug, Bima, Makale, Garut, Batu, Malang, Minanga, Atambua, Probolinggo, Situbondo, Balige, Medan, Kotabumi, Tampo dan Cilacap.

Di Gereja St. Yosef Kediri yang dulunya Seminari Tinggi Katolik, menjadi tempat bersejarah terbentuknya organisasi Dewan Wilayah pertama yang menjadi dasar terbentuknya Dewan Nasional SSV Indonesia.

Sebelum perayaan Ekaristi dimulai umat diajak menyaksikan video dokumenter tentang karya-karya SSV dari masa ke masa. Di akhir perayaan Ekaristi diadakan launching logo Tahun Emas SSV Indonesia dengan moto “Setiaku Melayani-Mu” sebagai tanda dimulainya Rangkaian Kegiatan Perayaan Tahun Emas SSV Indonesia.

Direncanakan selama Perayaan Tahun Emas, SSV akan mengadakan kegiatan kerohanian dan sosial di berbagai daerah di Indonesia, termasuk puncak acara Pertemuan Nasional SSV di Sawiran yang dihadiri oleh semua anggota SSV di Indonesia, yang diadakan pada Juni 2013.

Usai Misa diadakan ramah tamah dan pementasan tablo oleh Vinsensian Kediri dengan bimbingan Ibu Agnes tentang kesetiaan pelayanan dan dilanjutkan dengan pemberian penghargaan kepada J. Soeparlan dan Ibu C.P Soebari atas kesetiaan mereka selama 49 tahun menghayati panggilan menjadi Vinsensian sejati sehingga dapat menjadi teladan bagi generasi muda.

SSV, sebuah organisasi internasional kaum awam Katolik yang diakui oleh kepausan, yang didirikan oleh Beato Frederic Ozanam dan kawan-kawannya di Paris tahun 1833. Organisasi ini diilhami oleh karya dan pemikiran Santo Vinsensius a Paulo sebagai pelindungnya.

Hingga saat ini SSV Indonesia memiliki 8 Dewan Wilayah, 36 Dewan Daerah dan 358 Konferensi yang tersebar di seluruh Indonesia dengan melibatkan lebih dari 4.000 Vinsensian.

Artikel ini dikirim oleh Lana Sari dari Depart Komdok Denas SSV Indonesia

Read More..

20 Mei 2012

Hujan Yang Dinanti

Jalanan masih tampak basah oleh sisa guyuran hujan. Hujan deras yang turun semalam mendinginkan  suasana yang sudah sekian lama terasa panas. Betapa menyegarkan, bak rasa dahaga yang tak tertahankan lalu disegarkan oleh tetesan air dingin yang mengalir di tenggorokan.  Betapa kontrasnya hari-hari sebelumnya dengan tadi malam. Musim kemarau kali ini datang lebih panjang daripada tahun-tahun sebelumnya. Udara panas yang menerpa tubuh juga membuat pikiran serasa cepat “panas”. Bahkan kadang cenderung mempermainkan emosi kita. Ada seorang psikolog yang mengatakan bahwa pikiran dan badan kita adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Apa yang dirasakan oleh tubuh juga dirasakan oleh pikiran. Demikian pula sebaliknya apa yang ada di pikiran kita juga dirasakan oleh tubuh kita. Rasanya Air Conditioning di kamarpun tidak mampu mendinginkan gelombang panas yang menerpa akhir-akhir ini. Namun kegembiraan menyambut datangnya hujan tidak disikapi sama oleh setiap orang. Setidaknya itu yang aku lihat pagi ini…..

Seorang Bapak penjual Koran di perempatan jalan Ngagel yang biasa aku lewati tampak tengah berjuang dengan susah payah melewati genangan air yang ada. Mungkin genangan itu tidak terlalu menjadi masalah bagi kebanyakan orang, namun Bapak tadi “terpaksa” harus berjalan dengan tongkat penyangga karena ia tidak memiliki kaki kanan lagi. Entah apa yang menyebabkan ia harus kehilangan sebuah kakinya… Dengan bantuan sepasang tongkat itu Ia berusaha mendekati mobil-mobil yang berhenti diperempatan, berjalan dengan susah payah sambil tangan kanannya menggenggam tumpukan Koran sekaligus juga tongkat penyangga. Ia menawarkan koran dari mobil ke mobil dengan wajah tersenyum, berharap ada yang mau membelinya. Koran itu dibungkus dengan plastik kumal untuk melindunginya dari siraman air. Sementara semprotan air sisa hujan semalam yang ada diaspal entah berapa kali sudah menghantam dirinya dan seolah menjadi sahabat akrabnya pagi itu.

Read More..

14 Maret 2012

Cinta dan Perjumpaan

Rm. Agus Setyono, CM

Pagi itu, dalam kesempatan ngobrol sambil makan bersama, seorang sahabat bercerita mengenai rasa jengkelnya. Rasa jengkel itu muncul karena dia dan lembaga yang dia pimpin dicap tidak peduli terhadap nasib orang miskin. “Bagaimana mungkin saya dinilai tidak mencintai orang miskin? Setiap tahun – kalau dihitung – saya mengeluarkan sedikitnya 300 juta untuk orang miskin.” “Oh… berarti kamu mengukur cinta kepada orang miskin dengan seberapa rupiah yang kamu keluarkan?” Pikirku dalam hati.



Dengan pola pikir ini rasanya kita tidak terlalu sulit untuk membuat kesimpulan tentang sikap kita terhadap orang miskin: semakin sedikit uang dan barang yang kita berikan kepada orang miskin, maka semakin kecil pula rasa cinta kita kepada orang miskin. Sebaliknya, kita dapat dikatakan mencintai orang miskin jika semakin besar jumlah uang dan barang yang kita sumbangkan untuk menopang hidup orang miskin. Benarkah demikian? Bernarkah uang dan barang itu adalah ukuran utama untuk mengatakan bahwa saya mencintai orang miskin atau tidak? Kalau itu benar, maka selama saya tidak memiliki uang dan barang, maka saya pasti tidak bisa dikatakan mencintai orang miskin. Dan sebaliknya saya akan dapat dikatakan mencintai orang miskin, jika saya mempunyai uang dan atau barang yang bisa saya sumbangkan untuk orang miskin. Logika ini sekurang-kurangnya semakin menyadarkan saya akan fenomena yang sering terjadi saat ini. Bukan hanya sahabat saya, ternyata mayoritas orang jaman sekarang seringkali mengukur partisipasinya dalam kehidupan orang lain, terutama mereka yang miskin, dengan pemberian materi. Dan logika inilah yang menghantarkan orang-orang jaman ini dalam keengganan untuk memasuki kehidupan orang miskin. Keengganan ini biasanya disertai banyak alasan. Misalnya: saya sibuk, tidak punya waktu, itu bukan tugas saya, dan seterusnya. Tidak hanya berkaitan dengan keengganan, tetapi logika di atas seringkali menjebak kita pada sikap-sikap mengadili orang miskin, keputus-asaan, dan seterusnya. Ada sahabat lain pernah bercerita: “menolong orang miskin… untuk apa? Saya sudah mengorbankan puluhan juta, tetapi ternyata orang miskin masih tetap miskin. Rasanya sia-sia saya mengorbankan banyak hal untuk orang miskin”. Inilah efek yang langsung kentara jika kita mengukur keterlibatan dalam hidup orang miskin dengan uang dan materi. Kita akan merasa sia-sia. Putus asa. Dan mungkin justru akan membenci orang miskin. Apakah memberi uang dan materi kepada orang miskin itu salah? Tidak. Tetapi uang dan materi tidak bisa secara serta merta dijadikan patokan dalam pelayanan kepada orang miskin. Seorang tokoh Jerman, Frederic Williem Raiffeisen mengatakan: “Yang bisa menolong orang miskin adalah orang miskin itu sendiri!” Kalau kita setuju dengan pendapat Frederic, maka uang dan materi yang kita berikan kepada orang miskin sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian banyak faktor pelayanan atau keterlibatan dalam kehidupan orang miskin. Di atas uang dan materi ada faktor yang lebih mendasar, yaitu orang miskin itu sendiri. Frederic hendak mengatakan bahwa kalau kita ingin menolong orang miskin, maka faktor pertama yang harus menjadi fokus perhatian kita adalah orang miskin itu sendiri, dan bukan uang atau barang. Mengapa demikian? Ya tentu saja karena orang miskin adalah subjek atau pelaku utama perubahan. Kita tidak mungkin merubah orang miskin. Maka yang mungkin untuk kita lakukan adalah mengupayakan piranti-piranti yang meniscayakan orang miskin untuk bangkit, tumbuh dan berkembang. Sudah barang pasti, agenda ini tidak bisa kita tempuh hanya melalui pemberian uang dan barang. Kebangkitan, komitmen untuk tumbuh kembang akan menjadi keniscayaan jika kita sungguh-sungguh masuk dalam dunia dan kehidupan orang miskin. Dan untuk itu tidak bisa tidak kita harus berjumpa dengan orang miskin. Apa pentingnya perjumpaan? Seperti halnya perjumpaan-perjumpaan pada umumnya, perjumpaan dengan orang miskin akan menghantar kita pada dialog kehidupan. Saling berbagi. Saling mendengarkan. Saling belajar dan memberi inspirasi. Saling memupuk empati. Tataran paling mendalam dari perjumpaan adalah lahirnya benih-benih relasi yang didasari ketulusan kasih cinta yang saling menumbuhkan dan memberdayakan. Kalau perjumpaan sudah mencetuskan benih-benih kasih cinta, maka relasi dengan orang miskin niscaya bukan lagi merupakan relasi subjek (saya sebagai manusia) dengan objek (orang miskin yang harus dimanusiakan). Sebaliknya relasi dengan orang miskin akan menjadi relasi subjek (manusia) dengan subjek (manusia) yang setara. Setara. Apa maksudnya? Seringkali orang miskin, karena kemiskinannya, kita anggap sebagai pribadi yang martabatnya lebih rendah dari kita. Padahal yang terjadi hanyalah “nasib” yang berbeda. Kita lebih beruntung, lebih kaya, dan seterusnya. Sementara orang miskin tidak beruntung, lebih miskin dari kita. Kondisi (nasib) yang berbeda tentu tidak bisa langsung digunakan sebagai pondasi untuk mengatakan bahwa martabat kita berbeda. Kita yang berada dalam situasi hidup yang lebih baik adalah manusia. Orang miskin yang hidup miskin juga adalah manusia. Maka apa yang membuat kita berpandangan bahwa kita lebih superior dan orang miskin lebih inferior? Tentu tidak ada alasan yang sangat mendasar dalam hal ini. Kita dan orang miskin sesungguhnya memiliki martabat yang sama. Kita dan orang miskin sebenarnya memiliki kesetaraan. Inilah sesungguhnya pondasi yang harus kita tanamkan dalam diri kita jika kita hendak melakukan pelayanan dan berelasi dengan orang miskin. Pondasi relasi dengan orang miskin adalah cinta, dan bukan uang atau barang. Pondasi relasi dengan orang miskin adalah keyakinan bahwa saya dan orang miskin adalah manusia yang memiliki kesamaan martabat.


Rm. Agus Setyono, CM
www.dokasg.wordpress.com

Read More..

01 Februari 2012

Menarik Kaum Muda

Saat ini di Indonesia berdasarkan data terakhir yang dimiliki Dewan Nasional SSV hanya ada sekitar 11 % dari total 350 konferensi yang beranggotakan anak muda. Kondisi ini perlu menjadi catatan tersendiri dalam pengembangan serikat di tanah air. Padahal bila melihat pada sejarah diawal pendiriannya tahun 1833 di Paris, motor penggerak SSV adalah para mahasiswa yang nota bene adalah kaum muda. Saat itu Ozanam bersama teman-teman mahasiswanya bangkit mulai bekerja untuk melayani orang miskin. Mereka begitu bersemangat dalam pelayanan, sesuai dengan jiwa dinamis yang menyertainya.


Problem yang dialami oleh SSV juga sering dihadapi oleh kelompok-kelompok kategorial yang lainnya. Apa penyebab dari kurangnya minat kaum muda untuk terjun di aktivitas sosial ? Perilaku Hedonisme yang berkembang di kalangan muda ditunjuk sebagai salah satu “kambing hitam”. Di kota-kota besar tumbuhnya mal-mall, pusat perbelanjaan serta hypermarket ikut mempengaruhi perilaku anak muda. Tayangan televisi dengan berbagai macam acara hiburannya banyak yang menampiljan pesan-pesan kemewahan, menggelontor setiap hari dalam waktu 24 jam. Selain itu perkembangan dalam dunia teknologi yang sangat pesat juga membuat berkurangnya hubungan sosial atau antar pribadi di masyarakat. Internet merupakan sesuatu yang bukan lagi aneh bagi anak muda dimana mereka bisa mencari informasi apapun disana selama 24 jam sehari.




Menyadari akan kondisi itu, maka akhir-akhir ini para anggota Dewan di tingkat daerah, wilayah maupun Nasional memberikan perhatian tersendiri kepada kaum muda di tanah air. Salah satu butir rekomendasi yang diputuskan dalam pertemuan tahunan 2008 di Sarangan - Magetan juga menegaskan bahwa sampai dengan tahun 2010 setiap Dewan Wilayah akan membentuk konferensi baru yang anggotanya khusus terdiri dari anak muda. Butir rekomendasi yang lain juga mengatakan bahwa akan ada pembinaan kaum muda di masing-masing Dewan Wilayah dalam tahun 2009.
Beberapa Dewan Wilayah telah dan mulai melakukan pembinaan untuk kaum muda itu.

Memang, menarik minat kaum muda dibutuhkan kesabaran. Dalam pertemuan baru-baru ini, seorang vinsensian muda menceritakan bahwa dia masuk SSV “tanpa terasa dijebak”. Melibatkan secara tidak langsung pada kegiatan-kegiatan SSV, tanpa menuntut banyak pada dirinya membuat ia akhirnya jatuh cinta pada SSV.

Kabar yang menggembirakan datang setelah Dewan Nasional menyelenggarakan TMKV (Temu Kaum Muda Nasional ) yang diadakan di Wisma Bethlehem – Malang Bulan Juli 2011 yang lalu. Bak “gelombang tsunami” antusiasme dari vinsensian muda menular ke daerah-daerah. Dimulai dari DD Surabaya, DD Klaten, Dewil Madiun, DD Yogya, Dewil Lampung semua berinisiatif mangadakan acara yang serupa dengan TMKV itu. Lalu tanpa dikomando, mereka membuat group “SSV Kaum Muda” di media sosial Facebook. Keberadaan group ini meramaikan group-group SSV. Ini merupakan sarana yang baik bagi berkembangnya SSV di tanah air.

Saat ini dari beberapa informasi mulai tampak tumbuh beberapa konferensi muda seperti di Madiun, Surabaya, Lampung, Klaten. Kemudian ada harapan konferensi muda juga tumbuh di Jember juga Banyuwangi. Nah …mari kita bina jiwa muda ini untuk berkarya dengan sesama.
Alangkah indahnya bila pertemuan kita banyak dihadiri oleh kaum muda. Mereka akan menjadi tulang punggung bagi karya SSV di masa yang akan datang.

Mengajak, mengundang dan melibatkan kaum muda adalah tugas kita bersama. Tidak hanya tugas Dewan Nasional, Dewan Wilayah ataupun Dewan Daerah, tapi ini tugas setiap vinsensian untuk merangkul anak muda dalam karya sosial. Sebuah tugas yang tak kalah pentingnya dengan pelayanan yang dilakukan oleh SSV itu sendiri….

Tuhan memberkati.
Erik

Read More..