"Sepuluh kali sehari, Anda pergi kepada orang miskin, sepuluh kali pula Anda akan menemukan Tuhan "(St. Vinsensius A Paulo)

14 Maret 2012

Cinta dan Perjumpaan

Rm. Agus Setyono, CM

Pagi itu, dalam kesempatan ngobrol sambil makan bersama, seorang sahabat bercerita mengenai rasa jengkelnya. Rasa jengkel itu muncul karena dia dan lembaga yang dia pimpin dicap tidak peduli terhadap nasib orang miskin. “Bagaimana mungkin saya dinilai tidak mencintai orang miskin? Setiap tahun – kalau dihitung – saya mengeluarkan sedikitnya 300 juta untuk orang miskin.” “Oh… berarti kamu mengukur cinta kepada orang miskin dengan seberapa rupiah yang kamu keluarkan?” Pikirku dalam hati.



Dengan pola pikir ini rasanya kita tidak terlalu sulit untuk membuat kesimpulan tentang sikap kita terhadap orang miskin: semakin sedikit uang dan barang yang kita berikan kepada orang miskin, maka semakin kecil pula rasa cinta kita kepada orang miskin. Sebaliknya, kita dapat dikatakan mencintai orang miskin jika semakin besar jumlah uang dan barang yang kita sumbangkan untuk menopang hidup orang miskin. Benarkah demikian? Bernarkah uang dan barang itu adalah ukuran utama untuk mengatakan bahwa saya mencintai orang miskin atau tidak? Kalau itu benar, maka selama saya tidak memiliki uang dan barang, maka saya pasti tidak bisa dikatakan mencintai orang miskin. Dan sebaliknya saya akan dapat dikatakan mencintai orang miskin, jika saya mempunyai uang dan atau barang yang bisa saya sumbangkan untuk orang miskin. Logika ini sekurang-kurangnya semakin menyadarkan saya akan fenomena yang sering terjadi saat ini. Bukan hanya sahabat saya, ternyata mayoritas orang jaman sekarang seringkali mengukur partisipasinya dalam kehidupan orang lain, terutama mereka yang miskin, dengan pemberian materi. Dan logika inilah yang menghantarkan orang-orang jaman ini dalam keengganan untuk memasuki kehidupan orang miskin. Keengganan ini biasanya disertai banyak alasan. Misalnya: saya sibuk, tidak punya waktu, itu bukan tugas saya, dan seterusnya. Tidak hanya berkaitan dengan keengganan, tetapi logika di atas seringkali menjebak kita pada sikap-sikap mengadili orang miskin, keputus-asaan, dan seterusnya. Ada sahabat lain pernah bercerita: “menolong orang miskin… untuk apa? Saya sudah mengorbankan puluhan juta, tetapi ternyata orang miskin masih tetap miskin. Rasanya sia-sia saya mengorbankan banyak hal untuk orang miskin”. Inilah efek yang langsung kentara jika kita mengukur keterlibatan dalam hidup orang miskin dengan uang dan materi. Kita akan merasa sia-sia. Putus asa. Dan mungkin justru akan membenci orang miskin. Apakah memberi uang dan materi kepada orang miskin itu salah? Tidak. Tetapi uang dan materi tidak bisa secara serta merta dijadikan patokan dalam pelayanan kepada orang miskin. Seorang tokoh Jerman, Frederic Williem Raiffeisen mengatakan: “Yang bisa menolong orang miskin adalah orang miskin itu sendiri!” Kalau kita setuju dengan pendapat Frederic, maka uang dan materi yang kita berikan kepada orang miskin sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian banyak faktor pelayanan atau keterlibatan dalam kehidupan orang miskin. Di atas uang dan materi ada faktor yang lebih mendasar, yaitu orang miskin itu sendiri. Frederic hendak mengatakan bahwa kalau kita ingin menolong orang miskin, maka faktor pertama yang harus menjadi fokus perhatian kita adalah orang miskin itu sendiri, dan bukan uang atau barang. Mengapa demikian? Ya tentu saja karena orang miskin adalah subjek atau pelaku utama perubahan. Kita tidak mungkin merubah orang miskin. Maka yang mungkin untuk kita lakukan adalah mengupayakan piranti-piranti yang meniscayakan orang miskin untuk bangkit, tumbuh dan berkembang. Sudah barang pasti, agenda ini tidak bisa kita tempuh hanya melalui pemberian uang dan barang. Kebangkitan, komitmen untuk tumbuh kembang akan menjadi keniscayaan jika kita sungguh-sungguh masuk dalam dunia dan kehidupan orang miskin. Dan untuk itu tidak bisa tidak kita harus berjumpa dengan orang miskin. Apa pentingnya perjumpaan? Seperti halnya perjumpaan-perjumpaan pada umumnya, perjumpaan dengan orang miskin akan menghantar kita pada dialog kehidupan. Saling berbagi. Saling mendengarkan. Saling belajar dan memberi inspirasi. Saling memupuk empati. Tataran paling mendalam dari perjumpaan adalah lahirnya benih-benih relasi yang didasari ketulusan kasih cinta yang saling menumbuhkan dan memberdayakan. Kalau perjumpaan sudah mencetuskan benih-benih kasih cinta, maka relasi dengan orang miskin niscaya bukan lagi merupakan relasi subjek (saya sebagai manusia) dengan objek (orang miskin yang harus dimanusiakan). Sebaliknya relasi dengan orang miskin akan menjadi relasi subjek (manusia) dengan subjek (manusia) yang setara. Setara. Apa maksudnya? Seringkali orang miskin, karena kemiskinannya, kita anggap sebagai pribadi yang martabatnya lebih rendah dari kita. Padahal yang terjadi hanyalah “nasib” yang berbeda. Kita lebih beruntung, lebih kaya, dan seterusnya. Sementara orang miskin tidak beruntung, lebih miskin dari kita. Kondisi (nasib) yang berbeda tentu tidak bisa langsung digunakan sebagai pondasi untuk mengatakan bahwa martabat kita berbeda. Kita yang berada dalam situasi hidup yang lebih baik adalah manusia. Orang miskin yang hidup miskin juga adalah manusia. Maka apa yang membuat kita berpandangan bahwa kita lebih superior dan orang miskin lebih inferior? Tentu tidak ada alasan yang sangat mendasar dalam hal ini. Kita dan orang miskin sesungguhnya memiliki martabat yang sama. Kita dan orang miskin sebenarnya memiliki kesetaraan. Inilah sesungguhnya pondasi yang harus kita tanamkan dalam diri kita jika kita hendak melakukan pelayanan dan berelasi dengan orang miskin. Pondasi relasi dengan orang miskin adalah cinta, dan bukan uang atau barang. Pondasi relasi dengan orang miskin adalah keyakinan bahwa saya dan orang miskin adalah manusia yang memiliki kesamaan martabat.


Rm. Agus Setyono, CM
www.dokasg.wordpress.com

Tidak ada komentar: