"Sepuluh kali sehari, Anda pergi kepada orang miskin, sepuluh kali pula Anda akan menemukan Tuhan "(St. Vinsensius A Paulo)

20 Mei 2012

Hujan Yang Dinanti

Jalanan masih tampak basah oleh sisa guyuran hujan. Hujan deras yang turun semalam mendinginkan  suasana yang sudah sekian lama terasa panas. Betapa menyegarkan, bak rasa dahaga yang tak tertahankan lalu disegarkan oleh tetesan air dingin yang mengalir di tenggorokan.  Betapa kontrasnya hari-hari sebelumnya dengan tadi malam. Musim kemarau kali ini datang lebih panjang daripada tahun-tahun sebelumnya. Udara panas yang menerpa tubuh juga membuat pikiran serasa cepat “panas”. Bahkan kadang cenderung mempermainkan emosi kita. Ada seorang psikolog yang mengatakan bahwa pikiran dan badan kita adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Apa yang dirasakan oleh tubuh juga dirasakan oleh pikiran. Demikian pula sebaliknya apa yang ada di pikiran kita juga dirasakan oleh tubuh kita. Rasanya Air Conditioning di kamarpun tidak mampu mendinginkan gelombang panas yang menerpa akhir-akhir ini. Namun kegembiraan menyambut datangnya hujan tidak disikapi sama oleh setiap orang. Setidaknya itu yang aku lihat pagi ini…..

Seorang Bapak penjual Koran di perempatan jalan Ngagel yang biasa aku lewati tampak tengah berjuang dengan susah payah melewati genangan air yang ada. Mungkin genangan itu tidak terlalu menjadi masalah bagi kebanyakan orang, namun Bapak tadi “terpaksa” harus berjalan dengan tongkat penyangga karena ia tidak memiliki kaki kanan lagi. Entah apa yang menyebabkan ia harus kehilangan sebuah kakinya… Dengan bantuan sepasang tongkat itu Ia berusaha mendekati mobil-mobil yang berhenti diperempatan, berjalan dengan susah payah sambil tangan kanannya menggenggam tumpukan Koran sekaligus juga tongkat penyangga. Ia menawarkan koran dari mobil ke mobil dengan wajah tersenyum, berharap ada yang mau membelinya. Koran itu dibungkus dengan plastik kumal untuk melindunginya dari siraman air. Sementara semprotan air sisa hujan semalam yang ada diaspal entah berapa kali sudah menghantam dirinya dan seolah menjadi sahabat akrabnya pagi itu.

Taksiranku usia bapak itu sekitar 60 tahun. Aku membayangkan apa yang ada di benak bapak itu. Mungkin ia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini karena setiap pagi dengan setia dia berada disekitar perempatan itu. Mencoba tersenyum pada setiap pengemudi yang berhenti menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, meskipun mungkin hati kecilnya menangis. Berjualan Koran dengan kondisi seperti itu sungguh tidak menyenangkan apalagi menginjak usia senja. Usia yang bagi sebagian orang lain dilewati bersama keluarga. Namun tidak demikian dengan bapak ini. Keterpaksaan adalah sebuah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi yang dialaminya.


Semalam aku menikmati tidurku dengan nyenyak….. Apalagi tetesan hujan yang menghantam genteng menimbulkan senandung bunyi yang membuai istirahatku. Sebuah kenikmatan yang luarbiasa kalau aku bandingkan dengan Bapak tadi..….

Aku mencoba menebak apa yang ada dalam pikiran Bapak itu saat ini, tapi tak menemukan jawabannya. Aku hanya bisa berdoa semoga Ia mengalami keberuntungan lewat kehadiran hujan ini…….



Surabaya, 15 Nov 2011

Tidak ada komentar: